Bombana, Mediasebangsa.com | Presiden Prabowo Subianto menempuh langkah politik yang tidak biasa. Dalam keputusan yang diumumkan awal pekan ini, pemerintah memberikan amnesti kepada 1.116 terpidana, termasuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Di waktu yang sama, mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menerima abolisi dari kasus korupsi impor gula yang sebelumnya membuatnya dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara.
Kebijakan ini membuka perdebatan baru di tengah dinamika hukum dan politik nasional. Bagi sebagian pihak, ini adalah tindakan berani yang mencerminkan keberanian untuk berdamai. Namun, tak sedikit yang mempertanyakan urgensi dan motif di balik pemberian pengampunan itu.
Hasto Kristiyanto, yang pada Maret lalu divonis 3,5 tahun penjara dalam perkara suap pergantian antar waktu anggota DPR, menjadi salah satu figur penting dalam daftar penerima amnesti. Sementara Tom Lembong, tokoh reformis dan mantan pejabat di era Presiden Joko Widodo, menerima abolisi yang secara hukum menghapus seluruh konsekuensi dari putusan pengadilan terhadap dirinya.
Amnesti dan abolisi bukanlah instrumen hukum yang diberikan secara rutin. Dalam Naskah Akademik RUU Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, amnesti dijelaskan sebagai penghapusan hukuman oleh kepala negara kepada individu atau kelompok tertentu. Adapun abolisi bahkan lebih jauh, yaitu peniadaan status pidana berikut seluruh akibat hukumnya.
Langkah Prabowo ini menyentuh sisi politik yang selama ini jarang disentuh. Di tengah atmosfer persaingan yang masih menyisakan sisa-sisa ketegangan pasca pemilu, negara tiba-tiba hadir lewat gestur maaf.
Respons datang dari berbagai daerah. Di Bombana, Sulawesi Tenggara, Ketua DPC Partai Bulan Bintang Yudi Utama Arsyad menyambut baik langkah tersebut. Baginya, ini adalah pesan bahwa pemimpin tidak hanya berpikir soal kekuasaan, tapi juga tentang persatuan.
“Yang kita butuhkan hari ini bukan lagi saling menjatuhkan, tapi saling membangun. Negeri ini terlalu indah untuk dipenuhi kebencian,” ujar Yudi saat dihubungi, Rabu siang.
Ia menilai keputusan tersebut sebagai pengejawantahan nilai-nilai Pancasila, bukan sekadar jargon politik. Yudi juga percaya, ketika elite politik memilih untuk berdamai, rakyat pun akan punya alasan untuk kembali percaya.
“Kalau para tokoh nasional sudah tidak saling sikut, tapi saling rangkul, maka rakyat bisa bernapas lebih lega,” katanya.
Meski tidak lepas dari kritik, keputusan ini membuka ruang baru dalam praktik bernegara. Di tengah tuntutan atas supremasi hukum, Presiden justru menekankan pentingnya ruang untuk memaafkan. Sebuah pendekatan yang lebih lunak namun tidak serta-merta melemahkan penegakan hukum.
Kebijakan ini belum tentu menjadi jalan mulus. Perdebatan publik akan terus berlangsung, termasuk pertanyaan ihwal konsistensi negara dalam menegakkan keadilan. Tapi satu hal yang bisa dicatat, langkah ini memberi pesan bahwa negara, pada saat tertentu, boleh memilih untuk menurunkan nada.
Politik tidak selalu tentang siapa yang paling keras bersuara. Kadang, ia justru menyapa rakyat melalui langkah-langkah sunyi seperti ini. DS


Tinggalkan Balasan