oleh : Rezkhy Okriansyah Pratama, Ketua Indonesia Moronene

Kegiatan yang disebut Dialog Budaya oleh Pemerintah Daerah Bombana akhir-akhir ini sejatinya bukan ruang partisipasi rakyat, melainkan panggung pembungkaman yang dibungkus dengan label “dialog”.
Di saat masyarakat adat Moronene sedang bersuara menolak motif Rapa Dara yang tidak memiliki dasar historis maupun kajian budaya yang sah, pemerintah justru berupaya meredam gelombang kritik dengan menggelar acara formalitas yang diklaim sebagai bentuk “pendekatan budaya”.

Padahal, dialog semacam itu seharusnya dilakukan jauh sebelum motif Rapa Dara didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Jika pemerintah memang memiliki niat baik untuk mendengarkan masyarakat adat, mengapa dialog budaya tidak pernah dilakukan sebelumnya?
Apakah Dialog Budaya itu akan ada jika Rapa Dara dibiarkan begitu saja tanpa penolakan publik?
Sungguh ironis — ketika Rapa Dara sudah dijadikan ornamen di berbagai fasilitas publik dan bahkan dijual sebagai “motif khas Bombana”, barulah pemerintah tersadar untuk menggelar dialog.

Lebih lucu lagi, tidak sekalipun Bupati Bombana melontarkan pernyataan bahwa langkah pemerintah daerah selama ini mengandung kekeliruan.
Tak ada pengakuan kesalahan, tak ada permintaan maaf, hanya upaya menenangkan keadaan lewat forum yang dikendalikan narasi.

Yang lebih disayangkan, para tokoh adat dan budayawan justru dijadikan tameng oleh Pemda.
Mereka dihadirkan bukan untuk benar-benar diajak berdiskusi, melainkan sekadar memperkuat legitimasi atas keputusan yang sudah dibuat.
Di ruang yang seharusnya menjadi tempat menyatukan pemikiran, suara kritis malah dibungkam, perbedaan pendapat diarahkan, dan ruang partisipasi dikontrol demi citra politik.

Belakangan, muncul pula statement sejumlah tokoh yang menilai bahwa tuntutan masyarakat agar Bupati mundur dianggap tidak relevan dan berlebihan.
Padahal, pendapat semacam itu keliru dan bahkan murahan.

Tuntutan itu tidak lahir dari kebencian pribadi, melainkan dari rasa kecewa mendalam masyarakat Moronene terhadap sikap pemerintah yang menafikan suara adat dan mengabaikan nilai-nilai budaya lokal.
Desakan agar Bupati mundur adalah simbol kekecewaan kolektif bentuk peringatan bahwa kepemimpinan tanpa penghargaan terhadap budaya hanyalah kepemimpinan tanpa akar.

Dialog Budaya yang sejati seharusnya menjadi ruang pemulihan, bukan pembenaran; tempat menyatukan suara, bukan mengatur naskah.
Namun, yang terjadi hari ini justru strategi politik untuk melemahkan semangat massa, mengganti perjuangan dengan forum penuh basa-basi.

Satu hal yang pasti suara adat tidak akan pernah bisa dibungkam dengan dialog palsu.
Selama keadilan budaya belum ditegakkan, masyarakat Moronene akan terus bersuara.
Karena mereka tahu, diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap leluhur.

Moronene tidak butuh dialog untuk menenangkan amarah,
Moronene butuh kejujuran, pengakuan, dan keberanian untuk mengakui kesalahan.