Oleh: Rezkhy Okriansyah Pratama – Ketua Umum Organisasi Indonesia Moronene
Polemik Rapa Dara di Kabupaten Bombana telah menjadi salah satu isu kebudayaan paling serius dalam beberapa tahun terakhir. Apa yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan daerah justru berubah menjadi sumber perpecahan, sebab lahirnya motif ini tidak berangkat dari akar sejarah dan budaya masyarakat Moronene. Ironisnya, motif Rapa Dara bahkan sudah digunakan secara resmi sebagai ornamen dan motif pakaian daerah, padahal belum pernah melalui kajian budaya, seminar , pelibatan tokoh masyarakat, dan belum diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagai motif khas Bombana.
Lebih disayangkan lagi, nama Hj. Fatmawati Kasim Marewa, Ketua Dekranasda Bombana sekaligus istri Bupati Ir. Burhanuddin, M.Si, tercatat dalam HAKI sebagai pencipta seni motif Rapa Dara. Namun hingga kini, beliau memilih diam dan enggan memberikan klarifikasi, seolah melupakan tanggung jawab moral yang melekat pada posisinya sebagai penggerak seni dan budaya daerah. Diamnya Ketua Dekranasda ini bukan sekadar sikap pasif, melainkan bentuk pengabaian terhadap keresahan masyarakat yang sudah lama mempertanyakan keabsahan simbol tersebut.
Kita semua tahu, Sesuai pernyataan ibu Janariah mantan Kadis pariwisata Kab.Bombana pada tanggal 6 Oktober 2025, awal mula lahirnya Rapa Dara berangkat dari pengalaman pribadi Hj. Fatmawati saat menghadiri Festival Tangkeno di Kabaena pada tahun 2022, ketika suaminya masih menjabat sebagai Pelaksana Jabatan (Pj) Bupati. Dari sana muncul ide menciptakan motif khas sebagai kenang-kenangan jabatan, lalu dicari narasi tentang kuda agar terlihat memiliki nilai filosofis. Namun narasi itu jelas dipaksakan karena dalam sejarah panjang Moronene, kuda tidak memiliki peran simbolik atau nilai sakral yang layak dijadikan identitas budaya.
Sebagian pihak mungkin menganggap Rapa Dara sebagai inovasi seni yang perlu dihargai, namun bagi kami, masyarakat Moronene, ini adalah bentuk pemaksaan simbol dan pengaburan identitas budaya. Simbol daerah tidak boleh lahir dari selera pribadi, apalagi dijadikan alat pencitraan politik. Kami sudah memiliki motif warisan seperti Burisininta, Bosu-bosu, dan Soronga, yang lahir dari rahim sejarah dan spiritualitas leluhur. Mengganti motif-motif itu dengan ciptaan baru tanpa proses adat yang sah sama saja dengan menyingkirkan jati diri Bombana itu sendiri.
Yang lebih berbahaya, kehadiran Rapa Dara menjadi pintu masuk penggeseran kebudayaan asli Bombana yaitu budaya Moronene secara perlahan-lahan. Jika hal ini dibiarkan, maka mereka yang memiliki kekuasaan akan terus mengintervensi dan memodifikasi identitas daerah sesuai selera politik dan kepentingannya. Ini bukan pertama kali terjadi. Saat Gubernur Sulawesi Tenggara berkunjung ke Bombana, yang ditampilkan justru tari Padupa, bukan tari adat Moronene seolah Bombana tidak memiliki seni dan budaya sendiri untuk dibanggakan.
Lebih jauh lagi, Bupati Bombana sendiri pernah menyampaikan bahwa raja pertama Moronene berasal dari Luwu, sebuah pernyataan tanpa dasar historis yang jelas. Ucapan semacam ini bukan hanya keliru, tapi juga berpotensi mengaburkan sejarah dan melemahkan identitas generasi Moronene di masa depan.
Saya ingin menegaskan: penolakan terhadap Rapa Dara bukan soal kecemburuan politik atau serangan terhadap pribadi siapa pun. Ini soal martabat budaya. Kalau hari ini masyarakat diam dan membiarkan simbol tanpa akar sejarah dipaksakan, maka besok seluruh seni dan budaya kita bisa diubah sesuka hati oleh kepentingan pribadi. Diam terhadap kesalahan budaya sama saja dengan mengizinkan sejarah kita dirampas.
Pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas kekacauan ini. Jangan berlindung di balik alasan dialog atau pelestarian, padahal inti persoalannya adalah pengabaian terhadap prosedur dan penghinaan terhadap budaya lokal. Dan kepada Ibu Hj. Fatmawati Kasim Marewa, sebagai pihak yang tercatat dalam HAKI dan sebagai Ketua Dekranasda, saya menyerukan: berbicaralah dengan jujur kepada rakyat Bombana. Karena dalam urusan budaya, diam bukan emas diam adalah pengkhianatan terhadap akar budaya yang seharusnya dijaga dengan kehormatan.


Tinggalkan Balasan