Oleh: Ramsi Salo – Ketua Tama Tondo Wonua SANGIA Luku Berese
Polemik motif Rapa Dara yang kini mengguncang Kabupaten Bombana bukan sekadar soal motif atau karya seni, tetapi tentang identitas, kehormatan, dan penghargaan terhadap akar sejarah kebudayaan Moronene. Bagi masyarakat adat Moronene, Rapa Dara adalah simbol dari arogansi kebudayaan hasil kreasi personal yang dipaksakan menjadi simbol daerah tanpa dasar adat maupun legitimasi budaya.
Fakta tentang lahirnya Rapa Dara telah diungkap dalam Aksi Jilid II pada 6 Oktober 2025, melalui pernyataan Ibu Janariah, mantan Kepala Dinas Pariwisata Bombana. Dalam kesaksiannya, ia menjelaskan bahwa motif Rapa Dara berawal ketika Ibu Hj. Fatmawati Kasim Marewa, Ketua Dekranasda sekaligus istri Bupati Bombana, melihat seekor kuda dalam Festival Tangkeno 2022 di Kabaena. Dari momen itu muncul gagasan untuk menciptakan motif khas Bombana bukan melalui kajian budaya, melainkan sebagai “kenang-kenangan jabatan”. Demi memberi kesan historis, kemudian dicari narasi kuda agar tampak memiliki nilai filosofis budaya.
Namun bagi masyarakat Moronene, Rapa Dara tidak memiliki akar sejarah maupun makna adat. Kuda bukan simbol dalam sistem budaya Moronene, tidak ada dalam cerita rakyat, tidak mewakili nilai spiritual leluhur. Karenanya, menjadikan kuda sebagai motif khas daerah jelas merupakan pemaksaan identitas dari selera pribadi, bukan dari hasil musyawarah budaya.
Ironisnya, sebelum memiliki dasar hukum, motif Rapa Dara sudah dibawa ke panggung internasional pada ajang New York Indonesia Fashion Week (NYIFW) di Amerika Serikat pada Maret 2023, dengan mengatasnamakan “Motif Khas Bombana”. Padahal, sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas nama Ibu Hj. Fatmawati baru diterbitkan enam bulan kemudian, pada September 2023. Fakta ini memperlihatkan betapa proses hukum dan etika budaya telah diabaikan, demi mengejar popularitas dan citra politik pribadi.
Lebih mengecewakan lagi, hingga kini Ibu Fatmawati Kasim Marewa memilih bungkam, tidak memberi klarifikasi apa pun kepada publik. Sikap diam itu menambah kekecewaan masyarakat, sebab seorang yang mengaku pencinta budaya seharusnya mampu menjelaskan asal-usul dan filosofi motif yang diciptakannya. Ketika seorang pemimpin budaya lebih memilih diam daripada berdialog, itu tanda bahwa kepentingan pribadi telah menutupi nurani kebudayaan.
Rapa Dara bahkan mulai dipaksakan tampil di berbagai fasilitas pemerintahan, pakaian adat, dan ornamen kantor, padahal belum pernah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagai motif khas Bombana. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk pengabaian terhadap otoritas budaya masyarakat adat Moronene yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai daerah.
Jika hal seperti ini dibiarkan, maka pihak yang memiliki kekuasaan akan perlahan menggeser identitas Bombana, sedikit demi sedikit menghapus warisan budaya asli Moronene. Kita sudah melihat contohnya: ketika Gubernur Sulawesi Tenggara datang ke Bombana, yang ditampilkan bukan tarian adat Moronene, tetapi Tari Padduppa seolah-olah Bombana tidak memiliki seni dan budaya sendiri. Bahkan dulu, saat Bupati Burhanuddin mencalonkan diri, ia pernah menyebut bahwa “raja pertama Moronene berasal dari Luwu,” tanpa dasar sejarah yang jelas. Pernyataan seperti ini sangat berbahaya, karena bisa menimbulkan pengaburan jati diri dan sejarah masyarakat Moronene, terutama bagi generasi yang akan datang.
Kami menegaskan, Bombana memiliki motif-motif adat yang sah secara budaya, seperti Burisininta, Bosu-bosu, Soronga, Buburi Ruruho Petumbu, dan Sele-sele — semuanya memiliki makna, filosofi, dan akar adat yang dalam. Inilah yang seharusnya dijaga, diteliti, dan dipromosikan oleh pemerintah.
Budaya bukan panggung pencitraan. Budaya bukan kenang-kenangan jabatan. Dan Rapa Dara bukan identitas Bombana.


Tinggalkan Balasan